Temukan plastik di sekitar kalian sekarang, pasti mudah sekali bukan. Plastik yang kalian lihat secara umum adalah sebuah benda yang tidak akan pernah bisa terurai di tanah secara alami. Dengan kata lain plastik tersebut akan menjadi sampah abadi jika sudah tidak digunakan. Bagaimana pendapat kalian tentang hal ini?
Lalu apa hubungannya dengan industri kuliner? Sangat berhubungan. Berdasarkan audit sampah plastik yang dilakukan Greenpeace Indonesia di tiga pantai di wilayah Tangerang, Yogyakarta, dan Bali ditemukan 10.594 sampah plastik. Dari sampah plastik tersebut ditemukan 797 merek dan 594-nya adalah merek makanan. Terbayang bukan seberapa besar
kaitan sampah plastik dengan industri kuliner?
Di saat kita bimbang dengan permasalahan plastik ini, di tempat lain sebuah perusahaan Evo & Co. sedang terus berjuang untuk menekan konsumsi plastik dengan membuat berbagai produk pengganti plastik yang jelas ramah lingkungan.
Dimulai Dari Keprihatinan
Adalah David Christian yang merasa sedih dengan konsumsi plastik di Indonesia yang begitu masif. Keprihatinan inilah yang akhirnya medorong dirinya untuk mendirikan Evo & Co. yang fokus pada pengurangan polusi plastik dengan memproduksi berbagai kantong non-plastik yang mudah terurai di alam.
“Hari ini banyak plastik yang mendapat embel-embel mudah terurai beredar sebagai kantong belanja dll. Namun, sejujurnya kantong-kantong tersebut adalah plastik yang ditambahkan senyawa tertentu dan nantinya akan hancur menjadi mikro plastik yang lebih kecil, tapi mereka tidak terurai dan sama bahayanya dengan kantong plastik biasa,” ungkap David.
Sedangkan Evo & Co. sendiri memproduksi kantong-kantong yang sepenuhnya biodegradable. Penjelasan tentang biodegradable secara sederhana adalah terurainya sebuah materi oleh organisme dan bakteri yang ada di tanah. Nah, untuk membuat kantong yang bisa sepenuhnya terurai di tanah pilihan paling penting adalah materi yang digunakan untuk membuatnya.
Singkong dan Rumput Laut
“Kantong dan semua kemasan yang kami buat berbahan dasar singkong. Lalu kami juga memproduksi gelas minum yang terbuat dari rumput laut. Uniknya, gelas rumput laut ini bahkan bisa langsung dimakan dengan pilihan rasa yang bisa di-customize” lanjutnya.
David juga menjelaskan jika produksi kantong-kantong ini sebenarnya tidak terlalu rumit. Hanya saja sebagai produk yang belum benar-benar massal membuat cost produksinya tentu lebih tinggi dibandingkan kantong plastik biasa.
“Kita serius melihat industri kuliner dan produk-produk konsumsi sebagai penyumbang terbesar sampah-sampah plastik di Indonesia. Orang-orang di sini juga masih belum terbiasa untuk berusaha mencari wadah alternatif yang bisa dipakai berulang-ulang,” kata David.
Sisi positifnya semakin tahun kesadaran masyarakat Indonesia akan pentingnya mengurangi penggunaan kantong plastik juga semakin tinggi. Evo & Co. sendiri tidak hanya sekedar memproduksi kantong-kantong biodegradable, mereka juga melakukan edukasi tentang pentingnya mengurangi penggunaan plastik lewat kampanye yang bernama Rethink.
Apa Saja yang Dilakukan Evo & Co.
Evo & Co. telah membuat berbagai produk kantong berbahan dasar singkong. Mulai dari kantong kresek hingga berbagai packaging untuk produk-produk rumah tangga. Secara mendasar bahkan Evo & Co. bisa membuat kemasan dengan bentuk dan kegunaan berdasarkan pemesanan.
Gelas rumput lautnya sangat menarik karena fitur edible-nya serta penambahan rasa dan aroma pada gelas itu sendiri. Ditambah lagi Evo & Co. juga memiliki jajaran produksi kayu dan kertas untuk berbagai kegunaan. Peralatan makan dan minum seperti sendok, garpu, sumpit hingga sedotan ada di Evo & Co. Untuk produk-produk ini mereka mengandalkan bambu, kertas dan beras.
Harusnya Indonesia Bisa
Jika mengintip data FAO, Indonesia adalah negara produsen singkong terbesar ke-4 di dunia. Dengan fakta pada tahun 2017 kita bisa menghasilkan setidaknya 19.046.000 ton singkong, harusnya secara bahan baku kita begitu berlimpah jika ingin bicara produksi kantong biodegradable.
Rumput laut sendiri adalah komoditi lainnya yang merupakan andalan Indonesia. Sehingga penggunaan rumput laut sebagai wadah biodegradable seharusnya bisa lebih diperhatikan pemerintah. Pada tahun 2019 produksi rumput laut nasional mencapat 9,9 juta ton, sebuah angka yang besar dan sangat mungkin mendorong produksi wadah berbahan dasar rumput laut.
Permasalahan paling mendasar yang selalu dihadapi oleh bisnis ini adalah harga jual produknya yang masih sangat tinggi. Hal ini wajar, mengingat permintaan pasar yang masih sangat rendah terhadap wadah biodegradable. Tanpa adanya dukungan serius dari berbagai pihak tentang betapa pentingnya penekanan sampah plastik, Indonesia akan terus menjadi Negara yang menyumbangkan sampah pada bumi.
Bentuk pengurangan seperti apapun hari ini akan sangat memengaruhi keadaan konsumsi plastik kita. Memang bukan pekerjaan yang bisa diselesaikan dalam waktu cepat namun, Evo & Co. telah ambil bagian mereka, lalu bagaimana dengan bagian kalian?